Jumat, 06 September 2013

Menatap Sang Surya dibalik Purnama



Yatim Piatu

Kaleeeeeey. Tolong papiiiii, darah Kaley, itu darah papi”.
Seketika itu kurengkuh tubuh kurus kecil ini dalam dekapku. Keringatnya sudah membasahi baju yang ia kenakan. Air matanya pun tak kalah deras. Dari tangisnya dan deru napas yang tersengal, ku tahu ia telah bermimpi hal yang sama. Mimpi yang selalu menghantuinya setiap malam selama 5 tahun.

Seperti malam-malam sebelumnya, dekapanku dan belaian tanganku di rambutnya, mampu tuk menenangkannya. Dalam 10 menit ia pasti tertidur. Benar saja, setelah 10 menit berlalu, deru napas tersengal telah berganti menjadi hela nafas halus. Sementara kubiarkan ia tertidur dalam dekapanku ini, aq yang telah terbangun 2 jam sebelumnya hanya bisa menahan sesak melihatnya. Seperti tak ada garis batas antara ingatan lalu dan kejadian nyata, saat aku mengingat kejadian itu. Suasananya masih sangat terasa. Satu hari yang membuat kami menjadi yatim piatu. Satu hari yang membuat Ara-ku kini hanya mampu berkata “Tolong, Papi, takut, darah dan Kaley”.

Suara tembakan itu masih begitu terasa begitu memekakkan telinga. Darah yang membanjiri seluruh lantai dan tubuh papi yang roboh dari celah pintu yang sedikit terbuka. Kala itu usiaku yang masih 8 tahun dan Arana masih berusia 4 tahun, terlalu kecil untuk mengerti dan belum mampu menerima semua itu, hanya bisa meringkuk ketakutan tanpa suara melihat kejadian mengerikan di depan kami. Saat itu kami tengah bermain di kamar. Tiba-tiba hanya terdengar suara debuman dari ruang kerja papi. Aku pun segera berlari menuju ke ruang kerja papi dan seketika itu kulihat seorang pria dengan posisi membelakangiku tengah menodongkan sebuah benda ke arah papa. Sebuah benda yang pernah kulihat di televisi yang mereka sebut sebuah pistol, jika ditarik pelatuknya akan menimbulkan suara yang keras. Tiba-tiba dengan hitungan detik terdengar sebuah tembakan. Lalu sekali lagi terdengar suara tembakan kedua. Tembakan kedua ini yang merobohkan tubuh papi. Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat.

Serta merta aq teringat Ara. Dia masih di kamar dan otak ini seakan berbicara “tidak boleh, jangan biarkan Ara melihat ini semua. Aq harus melindunginya”. Terlambat, saat aq berbalik ke belakang, Ara telah berdiri disana. Dibelakangku, dia terdiam, pandangannya lurus dan kosong. Aku tertegun sesaat dan segera kurengkuh tubuhnya. Saat ku melihat kebelakang, pria itu telah menghilang dan membiarkan tubuh papi terbujur kaku bersimbah darah. Adikku ini hanya terdiam dan tubuhnya begitu kaku, aq hanya bisa menangis sesenggukan, menahan teriakan di tenggorokan yang tak mampu keluar.


Malam ini bukanlah malam yang berbeda. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Hanya ada kami berdua. Kamar dengan ukuran 2x3 meter yang hanya berisi sebuah kasur lapuk, peralatan makan dan keranjang tumpukan baju. Sebuah kamar bekas gudang yang kusewa seharga 200 per bulan semenjak 6 bulan lalu, setelah kami cukup lama tinggal berpindah-pindah. Dari mulai kolong jembatan, terminal, masjid dan bahkan di depan wc umum sekalipun.

Kupandangi wajah adik kecilku ini. Sementara Arana masih memilikiku yang akan selalu mendekapnya dalam ketakutannya, aq hanya memiliki secarik kertas lusuh berisi puisi yang papi berikan kepadaku saat kami berulang tahun setahun sebelum kejadian itu. Aq dan Arana lahir di tanggal dan bulan yang sama, hanya tahun yang berbeda.

Teruntuk kedua puteri cantik papi..

Kalinda, Sang Surya
Tahukah kau nak, saat sinar sang surya muncul, itu menandakan sebuah awal.
Awal kehidupan.
Sinar sang surya itu begitu menghangatkan, memberikan semangat dan menerangi seluruh kehidupan.
Ia tangguh. Ia ada dan bisa dirasakan oleh semua manusia tapi tak seorang dari mereka yang mampu menatapnya dengan mata telanjang.
Seperti namamu.
Saat engkau terlahir, engkaulah surya itu bagi kami.
Engkau menjadi penyemangat dan pembawa kebahagiaan bagi kami.
Pelengkap pernikahan kami
Tuhan ternyata begitu menyayangi kami
IA tak hanya memberikan kami sosok sang surya
IA tahu tak akan ada siang tanpa malam
Sekali lagi IA anugerahkan kepada kami kami seorang gadis cantik, Arana, sang bulan.
Sungguh teramat lengkap kebahagiaan kami
Anakku, saat papi rindu mami sama halnya seperti kalian
Cukuplah bagi papi memandang wajah kalian berdua
Wajah sendu, kulit pucat dan rambut hitam Ara itu milik mami
Aah, sepertinya bukan hanya Arana saja yang memiliki wajah dan kulit mami, tapi kau juga Kaley.
Bahkan senyum manis, perhatian dan kecerewetanmu mengingatkan papi pada mami
Ya kalian  berdua.
Oh yah, mami menitipkan salam dari atas sana untuk kalian
Mami sedang menjemput surya dan rembulan
Mami meminta maaf belum bisa menemui kalian dan papi juga minta maaf tak bisa mengantar kalian ke tempat mami
Tempatnya terlalu jauh nak
Pliss, jangan sedih ya anakku sayang
Masih ada papi disini
Jangan biarkan mami datang menjewer telinga papi ini karena kesedihan kalian…J
Nanti mami tidak bisa membawakan surya dan rembulan untuk kalian.
Anak-anak papi sayang, selamat ulang tahun…


Salam sayang
Papi gantengnya Kalinda dan Arana

Selalu saja. Setiap kubaca puisi ini, aku merasakan kehangatan dekapan dan senyuman papi.  Sentuhan hangat kedua tangan papi yang ia tangkupkan untuk menutup kedua telingaku saat aq merasa takut dan sedih. Ritual setiap malam sebelum tidur dengan cerita-cerita Papi tentang apapun seraya bersama-sama memandangi foto mami. Kebiasan yang membuat aq dan Ara sulit tidur sebelum melakukan ritual itu. Dan banyak hal lagi. Semua kenangan tentang kami bertiga. Kami yang terbiasa melakukan semuanya hanya bertiga. 

 “Mami Kaley seorang astronot. Mami sedang mencari surya dan rembulan untuk Kaley dan Ara”. Jawaban yang sering papi berikan saat aq sudah mulai banyak bertanya keberadaan mami, saat aq yang merasa iri dengan teman-teman sekolahku yang ditemani ibunya. Jawaban itu pula yang menjadi sebuah alasan untukku saat mereka mulai mengejekku dengan mengatakan aq tak punya ibu. Semenjak itu, astronot tak pernah ada dalam urutan cita-cita ku, disaat teman-temanku yang lain begitu menginginkannya. Ketidaksukaanku terhadap astronot ternyata mampu membuatku berhasil memperdayai teman-temanku untuk ikut membenci astronot. Mereka tidak pernah tau, jika sesungguhnya aq tidak benar-benar membencinya, aq hanya tidak ingin banyak orang yang menjadi astronot. Dengan begitu tak banyak saingan bagi mami menemukan dan membawa surya dan bulan untuk kami, artinya mami bisa cepat pulang dan berkumpul bersama kami.


Setelah sekian lama baru kusadari, kini ku mengerti mami tak akan pernah kembali. Mami yang tak pernah terlihat lagi saat Ara terlahir.



*Kalinda, bahasa Sansekerta yang berarti surya
 Arana, bahasa Australia yang berarti rembulan
 

                                                    (Pukul. 03.00 dini hari................bersambung)



2 komentar:

Popi mengatakan...

ini karyamu sendiri? wah..layak dibukukan!

gayo mengatakan...

Iyaah Teh..sbnernya ni mash Ada smbungannya. Tapi mash terganjal sama sesuatu..
MALAS BIN G MOOD ! Perpaduannya komplit..:-)

Posting Komentar